Persekutuan Ulama dan Negara: Bagaimana Keterkaitan Hubungan Erat Antara Ulama dan Negara Menyebabkan Kemunduran Peradaban Islam Secara Perlahan di Era Abbasiyah

Sebagian dari kita memandang persekutuan atau ikatan antara Ulama dan Negara merupakan hal yang harus dilakukan guna kelancaran dalam sistem bernegara. Namun Ahmad T Kuru memiliki pendapat yang bersilangan dengan status quo ini. 

Ilustrasi Ulama yang dekat kepada penguasa (Image Sources: IslamyCity)

Latar Belakang Menulis Artikel

Pemicu dalam tulisan kali ini sangatlah sederhana, setelah tahun lalu membaca buku karya Ahmad T Kuru yang berjudul Islam Otoritarianisme dan ketertinggalan. Seketika teringat kembali tentang isi buku itu dan ingin mengupasnya kembali disini. Ini bukan tulisan yang runtut dan analitis melainkan saya gunakan sebagai pengingat atas hal yang telah baca sebelumnya, bukan juga karena isu terkini, Karena ada isu apa disini? Apa yang bisa kita ambil dari pelajaran masa lalu ini? Semua itu dikembalikan ke pembaca yang budiman.

Terangnya Peradaban Islam

Kegelapan terjadi di Eropa, ketidakterbukaan atas pengetahuan, kekurangpedulian atas akal, dan kurang kepedulian atas perdagangan menjadi kunci utama. Namun, disisi timur cahaya datang dengan lebih terang, geliat era keemasan Islam mulai terpupuk. Abad 9-10 adalah titik puncaknya yang diwakili oleh Abbassiyah. Keterbukaan, perdagangan dan independensi ulama menjadi kunci atas kegemilangan di Era ini. Seketika kegemilangan ini runtuh diserbu oleh pasukan Mongol yang meluluhlantakkan Ibukota Baghdad. Peradaban Islam mulai memasuki babak baru, Timur yang memimpin kini harus menerima kenyataan bahwa Era Kolonialisme telah datang dan menguasai mereka ditanah sendiri. Dari 3 Kalimat diatas kita seakan menyalahkan pihak eksternal dan tidak menilik lebih jauh atas internal Islam? Ada apa sebenarnya? Kenapa keterpurukan ini terjadi?situasi apa yang sebenarnya terjadi?

Keterkaitan Antara Menurunnya Peradaban Islam dengan  Persekutuan Ulama dan Negara

Disinilah Kuru membuat analisanya, salah satu hasil dari analisanya adalah Internal Islam yang tidak kondusif. Hal ini disebabkan berbagai alasan, salah satu yang disorot adalah persekutuan antara Ulama dan Negara. Pasti sampai disini banyak yang bertanya tanya, mengapa hal itu bisa terjadi? Dan mengapa persekutuan antara ulama dan negara malah membuat kemunduran peradaban Islam bukan malah sebaliknya?

Mungkin sebagian dari kiya menganggap bahwa untuk menjalankan dan memakmurkan Islam maka Ulama dan negara(pemerintahan) harus disatukan dalam satu tubuh yang sejalan.Jika ditarik lebih jauh kemasa itu persekutuan ulama dan negara terjadi karena keterpaksaan, menguatnya basis Syiah di Mesir yang mengharuskan pemerintahan Sunni untuk bersatu dengan mengawinkan antara pemerintahan dan ulama agar sejalan guna menumpas musuh bersama mereka. Selain itu, menguatnya kekhawatiran akan filsafat dikalangan ulama menjadi sebab lain. Pemerintahan pada masa akhir Abbasiyah yang mengalami ketidakstabilan sehingga mau tidak mau harus mendatangkan pelindung nomaden Seljuk untuk melindungi negara. Inilah awal dari terjadinya persekutuan antara ulama dan negara, negara yang memiliki kepentingan untuk mengontrol masa guna memenuhi kepentingan mereka melalui tangan tangan dari Ulama. Persekutuan ini menguntungkan kedua sisi, ada hal yang ditawarkan untuk ulama dan juga sebaliknya. Dengan ini negara bisa memiliki kontrol atas ulama yang menjadikan oposisi dan ketidak sejalan tidak pernah ada. Semua menuruti perintah dari kekuasaan termasuk ulama yang harusnya memiliki independensi karena merupakan corong utama dari umat. Dengan balutan jalinan kerjasama yang menguntungkan ini banyak pasti banyak kesepakatan dan perjanjian yamg terjadi antara kedua belah pihak.

Sebelum berlanjut, izinkan bertanya apakah ini mirip dengan situasi sekarang? Menurut hemat saya tidak, kita sedang baik-baik saja bukan? Demokrasi kita berjalan baik, oposisi ada, ulama memiliki independensi pokoknya yang baik-baik. Mari lanjut ... situasi ini membawa keterbukaan masuk pada jeruji besi. Ilmu pengetahuan dibatasi, fatwa-fatwa atas dilarangnya filsafat mulai muncul dan pada akhirnya membuat Iklim demokrasi mulai memudar. Pada titik inilah otoritarianisme mengepakkan sayapnya dan bertahan lama di tubuh negara-negara Islam hingga riak-riaknya masih terasa sampai sekarang.

Berbicara kondisi terkini umat Islam, penting untuk menggarisbawahi tiga fenomena utama: kekerasan, otoritarianisme, dan ketertinggalan dalam sains dan ekonomi. Kuru mengajak pembacanya memeriksa akar-akar tiga fenomena tersebut di masa lalu. Melalui proses retrospektif, satu hal ditemukan untuk diwaspadai. Ia adalah kelestarian persekutuan ulama dan negara di dunia Islam. Sebagai konsekuensi temuan Kuru, masa depan peradaban Islam yang lebih bebas, adil, demokratis, dan maju, bergantung pada independensi semua kelas-kelas strategis di suatu negara. Kelas penguasa, kelas intelektual, kelas pedagang, dan kelas ulama harus saling terpisah satu sama lain. Di balik tajamnya kritik Kuru, terletak kekhawatiran Kuru akan masa depan kehormatan kelas ulama itu sendiri. Tiap kali para ulama beraliansi dengan negara, mereka hanya menjadi pelayan bagi kepentingan penguasa, tidak lebih dari itu.

Pada akhirnya kemandirian Ulama dan umat keagamaan baik itu individu, kelompok, atau organisasi menjadi penting. Dengan tidak terikat terlalu dalam dengan kekuasaan menjadikan kemudahan pergerakan tanpa batasan dari si Penguasa. Hal ini akan menjadi modal umat untuk terus berinovasi dan berkontribusi aktif tanpa halangan atas perjanjian, tawaran-tawaran, atau hal manis lain yang diberikan penguasa. Menjadi mandiri adalah satu-satunya jalan untuk menuju kemajuan yang diharapkan.

Penulis: Ahmad Dhani Setiawan

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Persekutuan Ulama dan Negara: Bagaimana Keterkaitan Hubungan Erat Antara Ulama dan Negara Menyebabkan Kemunduran Peradaban Islam Secara Perlahan di Era Abbasiyah"

Posting Komentar