Menolak Kenaikan PPN: Suara Lirih Rakyat di Tengah Ketidakpastian Ekonomi
Di tengah bayangan suram ketidakpastian ekonomi global, ketegangan geopolitik, dan mengecilnya kelas menengah, pemerintah Indonesia malah mempertimbangkan untuk menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Muncul pertanyaan, apakah Kenaikan PPN Solusi Atas Ketidakpastian Ekonomi?
Di
tengah ketidakpastian ekonomi global yang dipicu oleh pandemi COVID-19,
geopolitik global yang penuh ketidakpastian hingga mengecilnya kelas menengah.
Pemerintah Indonesia yang baru bertransisi mengusulkan kenaikan Pajak
Pertambahan Nilai (PPN) sebagai salah satu langkah untuk meningkatkan
penerimaan negara. Meskipun kenaikan PPN ini bertujuan untuk menambal defisit
anggaran yang membengkak, langkah ini menuai kritik dan penolakan dari berbagai
kalangan masyarakat. Kenaikan PPN dianggap tidak tepat waktu dan berpotensi
membebani rakyat kecil yang sudah terhimpit oleh tekanan ekonomi. Kenaikan PPN
bukan saja berdampak pada sektor perdangan melainkan memiliki efek domino yang
tak terelakkan. Maka menjadi penting untuk bersuara dan menolak kenaikan PPN
demi menghindarkan pemalakan berlebihan negara atas individu serta
menyelamatkan dompet yang kian tipis.
Salah
satu alasan utama penolakan kenaikan PPN adalah dampaknya yang langsung
dirasakan oleh masyarakat luas, terutama mereka yang berada di kelas menengah
dan bawah. PPN adalah pajak tidak langsung yang dikenakan pada konsumsi barang
dan jasa, sehingga kenaikan tarif PPN secara otomatis akan meningkatkan harga
barang-barang kebutuhan pokok. Dalam kondisi ekonomi yang sudah sulit, kenaikan
harga ini akan semakin memberatkan rakyat kecil yang daya belinya sudah
menurun. Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS), tingkat kemiskinan di
Indonesia meningkat akibat pandemi, dan kebijakan kenaikan PPN dapat
memperburuk situasi ini.
Selain
itu, kenaikan PPN dapat menghambat pemulihan ekonomi yang sedang berjalan.
Usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang menjadi tulang punggung ekonomi
Indonesia juga akan merasakan dampak negatif dari kebijakan ini. UMKM yang
beroperasi dengan margin keuntungan yang tipis akan kesulitan menanggung beban
tambahan dari kenaikan PPN, yang pada gilirannya dapat mengurangi aktivitas
ekonomi dan memperlambat pemulihan. Sebuah studi dari World Bank (2021)
menunjukkan bahwa beban pajak yang lebih tinggi dapat mengurangi investasi dan
konsumsi, yang merupakan komponen penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi.
Dari
perspektif ekonomi, kenaikan PPN dapat menciptakan efek domino yang merugikan.
Kenaikan harga barang dan jasa akan mengurangi daya beli masyarakat, yang pada
akhirnya mengurangi permintaan agregat. Pengurangan permintaan ini dapat
mengakibatkan penurunan produksi dan peningkatan pengangguran, karena
perusahaan harus menyesuaikan operasi mereka dengan penurunan penjualan.
Menurut teori Keynesian, dalam kondisi resesi atau pemulihan ekonomi, kebijakan
fiskal yang lebih ekspansif, seperti subsidi atau pengurangan pajak, lebih
efektif dalam mendorong pertumbuhan ekonomi dibandingkan dengan kebijakan yang
meningkatkan beban pajak.
Sebagai
contoh, Jepang pada tahun 1997 mengalami resesi yang lebih dalam setelah
menaikkan pajak konsumsi dari 3% menjadi 5%. Alih-alih meningkatkan pendapatan
negara, kenaikan pajak tersebut justru menekan konsumsi domestik dan
memperburuk kondisi ekonomi. Pelajaran dari kasus Jepang menunjukkan bahwa
kenaikan pajak konsumsi harus dilakukan dengan sangat hati-hati, terutama dalam
konteks pemulihan ekonomi yang rapuh.
Dari
sisi sosial, kenaikan PPN berpotensi meningkatkan kesenjangan ekonomi. Pajak
konsumsi seperti PPN bersifat regresif, artinya lebih membebani kelompok
masyarakat berpenghasilan rendah daripada yang berpenghasilan tinggi. Kelompok
masyarakat miskin yang menghabiskan sebagian besar pendapatannya untuk
kebutuhan dasar akan merasakan dampak kenaikan PPN lebih berat dibandingkan
dengan kelompok berpenghasilan tinggi. Ini dapat meningkatkan ketimpangan
sosial dan ekonomi di Indonesia, yang sudah menjadi isu serius. Menurut laporan
Oxfam (2020), ketimpangan ekonomi di Indonesia berada pada tingkat yang cukup
tinggi, dan kebijakan yang tidak sensitif terhadap kondisi sosial-ekonomi dapat
memperburuk situasi.
Selain
itu, penolakan terhadap kenaikan PPN juga mencerminkan ketidakpuasan masyarakat
terhadap transparansi dan efisiensi penggunaan anggaran negara. Banyak
masyarakat yang merasa bahwa sebelum menaikkan PPN, pemerintah seharusnya
memperbaiki pengelolaan anggaran, mengurangi pemborosan, dan menindak tegas
praktik korupsi. Kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dalam pengelolaan
anggaran sangat penting untuk mendapatkan dukungan publik terhadap kebijakan
fiskal yang kontroversial.
Sebagai
alternatif, pemerintah dapat mempertimbangkan kebijakan yang lebih progresif
dan tidak membebani masyarakat kecil. Misalnya, meningkatkan efisiensi
penerimaan pajak dengan memperbaiki sistem administrasi perpajakan dan
memperluas basis pajak, sehingga wajib pajak yang selama ini belum terdaftar
dapat kontribusi. Pemerintah juga dapat mengoptimalkan penerimaan dari pajak
penghasilan (PPh) yang lebih progresif, di mana tarif pajak lebih tinggi
dikenakan kepada kelompok masyarakat berpenghasilan tinggi. Langkah ini akan
lebih adil dan dapat membantu mengurangi ketimpangan sosial ekonomi. Selain
melakukan regulasi yang efektif dan perubahan kebijakan fiscal. Sudah
selayaknya kita mengoptimalkan pemasukan dari luar negeri seperti peningkatan
investasi asing, optimalisasi dalam berbagai sektor seperti pangan, hingga
menggenjot ekspor, Ini akan menjadi pemasukan yang efektif untuk menyelamatkan
ekonomi negara tanpa harus mencekik rakyatnya.
Selain
itu, pemerintah dapat mengevaluasi kembali anggaran belanja dan memprioritaskan
pengeluaran yang berdampak langsung pada kesejahteraan rakyat, seperti
kesehatan, pendidikan, dan bantuan sosial. Dengan memperketat pengelolaan
anggaran dan meminimalkan pemborosan, pemerintah dapat menemukan sumber
pendanaan yang cukup tanpa perlu menaikkan PPN.
Kenaikan
PPN di tengah ketidakpastian ekonomi saat ini adalah kebijakan yang perlu
ditinjau ulang secara kritis. Meskipun bertujuan untuk meningkatkan penerimaan
negara, dampak negatif dari kebijakan ini terhadap daya beli masyarakat,
pemulihan ekonomi, dan kesenjangan sosial harus menjadi pertimbangan utama.
Sebagai negara yang menjunjung tinggi prinsip keadilan sosial, Indonesia perlu
mencari solusi yang lebih bijaksana dan berkeadilan dalam menghadapi tantangan
ekonomi pasca-pandemi. Penolakan terhadap kenaikan PPN adalah suara rakyat yang
berharap pemerintah dapat lebih sensitif dan responsif terhadap kondisi ekonomi
dan kesejahteraan mereka. Dengan mempertimbangkan alternatif kebijakan yang
lebih progresif, pemerintah dapat mencapai tujuan fiskal tanpa harus membebani
masyarakat kecil yang sudah terdampak dan tercekik.
0 Response to "Menolak Kenaikan PPN: Suara Lirih Rakyat di Tengah Ketidakpastian Ekonomi"
Posting Komentar