Menolak Kenaikan PPN: Suara Lirih Rakyat di Tengah Ketidakpastian Ekonomi

Di tengah bayangan suram ketidakpastian ekonomi global, ketegangan geopolitik, dan mengecilnya kelas menengah, pemerintah Indonesia malah mempertimbangkan untuk menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN).  Muncul pertanyaan, apakah Kenaikan PPN Solusi Atas Ketidakpastian Ekonomi?


Ilustrasi kenaikan pajak (DocPribadi/Ahmad Dhani Setiawan)

Di tengah ketidakpastian ekonomi global yang dipicu oleh pandemi COVID-19, geopolitik global yang penuh ketidakpastian hingga mengecilnya kelas menengah. Pemerintah Indonesia yang baru bertransisi mengusulkan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebagai salah satu langkah untuk meningkatkan penerimaan negara. Meskipun kenaikan PPN ini bertujuan untuk menambal defisit anggaran yang membengkak, langkah ini menuai kritik dan penolakan dari berbagai kalangan masyarakat. Kenaikan PPN dianggap tidak tepat waktu dan berpotensi membebani rakyat kecil yang sudah terhimpit oleh tekanan ekonomi. Kenaikan PPN bukan saja berdampak pada sektor perdangan melainkan memiliki efek domino yang tak terelakkan. Maka menjadi penting untuk bersuara dan menolak kenaikan PPN demi menghindarkan pemalakan berlebihan negara atas individu serta menyelamatkan dompet yang kian tipis.

Salah satu alasan utama penolakan kenaikan PPN adalah dampaknya yang langsung dirasakan oleh masyarakat luas, terutama mereka yang berada di kelas menengah dan bawah. PPN adalah pajak tidak langsung yang dikenakan pada konsumsi barang dan jasa, sehingga kenaikan tarif PPN secara otomatis akan meningkatkan harga barang-barang kebutuhan pokok. Dalam kondisi ekonomi yang sudah sulit, kenaikan harga ini akan semakin memberatkan rakyat kecil yang daya belinya sudah menurun. Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS), tingkat kemiskinan di Indonesia meningkat akibat pandemi, dan kebijakan kenaikan PPN dapat memperburuk situasi ini.

Selain itu, kenaikan PPN dapat menghambat pemulihan ekonomi yang sedang berjalan. Usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang menjadi tulang punggung ekonomi Indonesia juga akan merasakan dampak negatif dari kebijakan ini. UMKM yang beroperasi dengan margin keuntungan yang tipis akan kesulitan menanggung beban tambahan dari kenaikan PPN, yang pada gilirannya dapat mengurangi aktivitas ekonomi dan memperlambat pemulihan. Sebuah studi dari World Bank (2021) menunjukkan bahwa beban pajak yang lebih tinggi dapat mengurangi investasi dan konsumsi, yang merupakan komponen penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi.

Dari perspektif ekonomi, kenaikan PPN dapat menciptakan efek domino yang merugikan. Kenaikan harga barang dan jasa akan mengurangi daya beli masyarakat, yang pada akhirnya mengurangi permintaan agregat. Pengurangan permintaan ini dapat mengakibatkan penurunan produksi dan peningkatan pengangguran, karena perusahaan harus menyesuaikan operasi mereka dengan penurunan penjualan. Menurut teori Keynesian, dalam kondisi resesi atau pemulihan ekonomi, kebijakan fiskal yang lebih ekspansif, seperti subsidi atau pengurangan pajak, lebih efektif dalam mendorong pertumbuhan ekonomi dibandingkan dengan kebijakan yang meningkatkan beban pajak.

Sebagai contoh, Jepang pada tahun 1997 mengalami resesi yang lebih dalam setelah menaikkan pajak konsumsi dari 3% menjadi 5%. Alih-alih meningkatkan pendapatan negara, kenaikan pajak tersebut justru menekan konsumsi domestik dan memperburuk kondisi ekonomi. Pelajaran dari kasus Jepang menunjukkan bahwa kenaikan pajak konsumsi harus dilakukan dengan sangat hati-hati, terutama dalam konteks pemulihan ekonomi yang rapuh.

Dari sisi sosial, kenaikan PPN berpotensi meningkatkan kesenjangan ekonomi. Pajak konsumsi seperti PPN bersifat regresif, artinya lebih membebani kelompok masyarakat berpenghasilan rendah daripada yang berpenghasilan tinggi. Kelompok masyarakat miskin yang menghabiskan sebagian besar pendapatannya untuk kebutuhan dasar akan merasakan dampak kenaikan PPN lebih berat dibandingkan dengan kelompok berpenghasilan tinggi. Ini dapat meningkatkan ketimpangan sosial dan ekonomi di Indonesia, yang sudah menjadi isu serius. Menurut laporan Oxfam (2020), ketimpangan ekonomi di Indonesia berada pada tingkat yang cukup tinggi, dan kebijakan yang tidak sensitif terhadap kondisi sosial-ekonomi dapat memperburuk situasi.

Selain itu, penolakan terhadap kenaikan PPN juga mencerminkan ketidakpuasan masyarakat terhadap transparansi dan efisiensi penggunaan anggaran negara. Banyak masyarakat yang merasa bahwa sebelum menaikkan PPN, pemerintah seharusnya memperbaiki pengelolaan anggaran, mengurangi pemborosan, dan menindak tegas praktik korupsi. Kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dalam pengelolaan anggaran sangat penting untuk mendapatkan dukungan publik terhadap kebijakan fiskal yang kontroversial.

Sebagai alternatif, pemerintah dapat mempertimbangkan kebijakan yang lebih progresif dan tidak membebani masyarakat kecil. Misalnya, meningkatkan efisiensi penerimaan pajak dengan memperbaiki sistem administrasi perpajakan dan memperluas basis pajak, sehingga wajib pajak yang selama ini belum terdaftar dapat kontribusi. Pemerintah juga dapat mengoptimalkan penerimaan dari pajak penghasilan (PPh) yang lebih progresif, di mana tarif pajak lebih tinggi dikenakan kepada kelompok masyarakat berpenghasilan tinggi. Langkah ini akan lebih adil dan dapat membantu mengurangi ketimpangan sosial ekonomi. Selain melakukan regulasi yang efektif dan perubahan kebijakan fiscal. Sudah selayaknya kita mengoptimalkan pemasukan dari luar negeri seperti peningkatan investasi asing, optimalisasi dalam berbagai sektor seperti pangan, hingga menggenjot ekspor, Ini akan menjadi pemasukan yang efektif untuk menyelamatkan ekonomi negara tanpa harus mencekik rakyatnya.

Selain itu, pemerintah dapat mengevaluasi kembali anggaran belanja dan memprioritaskan pengeluaran yang berdampak langsung pada kesejahteraan rakyat, seperti kesehatan, pendidikan, dan bantuan sosial. Dengan memperketat pengelolaan anggaran dan meminimalkan pemborosan, pemerintah dapat menemukan sumber pendanaan yang cukup tanpa perlu menaikkan PPN.

Kenaikan PPN di tengah ketidakpastian ekonomi saat ini adalah kebijakan yang perlu ditinjau ulang secara kritis. Meskipun bertujuan untuk meningkatkan penerimaan negara, dampak negatif dari kebijakan ini terhadap daya beli masyarakat, pemulihan ekonomi, dan kesenjangan sosial harus menjadi pertimbangan utama. Sebagai negara yang menjunjung tinggi prinsip keadilan sosial, Indonesia perlu mencari solusi yang lebih bijaksana dan berkeadilan dalam menghadapi tantangan ekonomi pasca-pandemi. Penolakan terhadap kenaikan PPN adalah suara rakyat yang berharap pemerintah dapat lebih sensitif dan responsif terhadap kondisi ekonomi dan kesejahteraan mereka. Dengan mempertimbangkan alternatif kebijakan yang lebih progresif, pemerintah dapat mencapai tujuan fiskal tanpa harus membebani masyarakat kecil yang sudah terdampak dan tercekik.


Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Menolak Kenaikan PPN: Suara Lirih Rakyat di Tengah Ketidakpastian Ekonomi"

Posting Komentar